Selasa, 14 Oktober 2014

jalan Tuhan

rasanya seperti membaca buku yang dituliskan Tuhan
mengamati dirimu hidup dalam fiksi
membaca bagaimana kehidupan membawamu dari satu episode ke episode lainnya
melewati maju mundurnya alur
sesaat di masa depan lalu kembali terseret ke masa lalu
sedetik tertawa tuk kemudian merasakan duka
menahan air mata tuk selanjutnya menapaki bahagia
kau hanyalah aktor atau aktrisnya
hanya perlu menjalankan peran tanpa bisa memilih
eits..bukan berarti kau tak punya pilihan
jangan lupa, aktor atau aktris juga bisa improvisasi

sisa rindu, iya cuma sisanya saja yang aku tahu

rindu kita satu, beradu diantara serpihan cerita yang tlah lalu
rindu kita satu, terbelenggu dalam masa yang sudah berlalu
rindu kita satu, terpadu dalam syahdu bahagia yang kian semu
rindu kita satu, dalam hitungan waktu yang tak pernah kita tahu
rindu kita satu, satu-satunya yang tak pernah termakan waktu,
tak peduli aku dan kamu sudah tak lagi satu

from zero to hero

entah mengapa hal kecil dapat sekejap menjadi maha besar..
yang terlihat tak berharga menjelma menjadi maha sempurna..
semua yang nampaknya sia-sia berubah menjadi maha guna..
dan aku mulai belajar untuk menghargai semua yang ada..
tak peduli kecil, tak berharga dan nampak sia-sia..
untuk menjadi sepuluh tentu harus berawal pada pijakan bilangan 0..
0 yang tak punya nilai, tak berharga dan tak sempurna..

Jumat, 30 Mei 2014

MINAT BACA RENDAH?, APA YA YANG SALAH?

Minat Baca Rendah, Masalah Klasik Masyarakat Indonesia

who doesn’t like reading?, who doesn’t love books?, who doesn’t obsess with the smell of the books?, sorry to say but i think the one doesn’t feel that is the poorest one. hehehe...

membaca adalah jendela dunia, yang tak suka membaca, ibaratnya hidup di dalam rumah tanpa jendela, yang hanya punya satu pintu saja


Membaca, ya membaca adalah aktifitas yang ternyata tidak terlalu mendapatkan perhatian dari masyarakat di Indonesia. Sampai saat ini masalah rendahnya minat baca masyarakat di Indonesia secara umum menjadi PR yang tak kunjung terselesaikan –mungkin yang ngerjain PR sampe bosen-. Banyak hal yang dikambinghitamkan sebagai penyebab rendahnya minat baca masyarakat kita, mulai dari kurang memadainya fasilitas perpustakaan di Indonesia, mahalnya harga buku, dan membaca yang dianggap sebagai aktifitas yang membosankan. Penyebab lain rendahnya minat baca sering kali dikaitkan dengan tradisi lisan yang diwariskan oleh nenek moyang kita. Tradisi lisan membiasakan kita untuk belajar melalui proses mendengar. Jadi tak heran kalau minat untuk memperoleh pengetahuan melalui membaca belum bisa dijadikan biasa. Hemat saya, tradisi meskipun memang membawa pengaruh dalam perkembangan suatu bangsa, bukan berarti harus dijadikan suatu yang ‘harus’ mutlak diikuti. Kita bisa mengembangkan tradisi membaca tanpa harus mengesampingkan tradisi lisan yang diwariskan oleh nenek moyang.

Saat sedang iseng-iseng menjelajah di dunia maya, saya menemukan teks berita online yang –menurut saya- judulnya sangat menarik, “Kemendikbud Kesulitan Meningkatkan Minat Baca Masyarakat RI”. -Wow, sesulit itukah?, miris sekali- pikir saya. Berkaitan dengan penyebab rendahnya minat baca di Indonesia sudah sering dan banyak dikaji oleh para ahli dan praktisi pendidikan. Sudah banyak penelitian yang dilakukan dalam rangka mengatasi rendahnya minat baca masyarakat kita. Akan tetapi pada praktiknya di lapangan memang tak semudah membalikkan telapak tangan. Pemerintah bukannya tidak melakukan apa-apa menghadapi fenomena yang sudah mendarah daging ini. Program terbaru yang digagas pemerintah adalah TBM (Taman Baca Masyarakat). Program ini diharapkan dapat meningkatkan minat membaca masyarakat dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Menurut hemat saya kehadiran TBM seharusnya dapat menjadi alternatif bagi masyarakat yang merasa kesulitan untuk menemukan buku bacaan atau mereka yang mengeluh malas mengunjungi perpustakaan. TBM sengaja ditempatkan pemerintah di area publik, seperti pasar, terminal, rumah sakit, taman kota, dan ruang publik lainnya. Selain mendapat fasilitas membaca gratis, masyarakat kita juga diajari menulis. Masyarakat juga diperkenankan mengajukan proposal permohonan TBM di daerah tempat tinggal mereka. Dengan begitu pemerintah berharap dapat memfasilitasi masyarakat secara merata. Saat ini sudah ada 6000 TBM yang tersebar di seluruh Indonesia. Jumlah yang fantastis. Namun pertanyaannya “apakah 6000 TBM ini sudah dapat dimaksimalkan peranannya oleh masyarakat Indonesia?”

Andi F Noya, Duta Baca Indonesia, berpendapat bahwa meningkatkan minat baca masyarakat Indonesia memang sulit, tapi bukannya tidak mungkin. –everything is possible as long as we try harder to make it real-. Saya sedikit mengutip pendapat pria kelahiran tahun 1960 ini berkaitan dengan program TBM "Meningkatkan minat membaca masyarakat itu yang sulit, sehingga kami terus berupaya agar mereka mau membaca. Saya sangat mendukung sekali program ini, namun jangan hanya buku karena dikhawatirkan hanya menjadi pajangan saja". Memang benar, saya rasa TBM memang perlu disinergikan dengan kegiatan positif yang dapat menarik masyarakat untuk datang, misalnya saja dengan kegiatan bedah buku, diskusi film, kelas mendongeng bagi anak, dan pendampingan kegiatan membaca oleh komunitas baca yang ada di masing-masing daerah. Saya sempat berdiskusi dengan beberapa teman yang juga gemar membaca. Ada diantara mereka yang berpendapat ditambahkannya area hotspot gratis di seputaran TBM akan menambah minat masyarakat untuk mengunjungi TBM. Tapi saya merasa pendapat tersebut kurang tepat. Adanya area hotspot gratis mungkin hanya akan meningkatkan pengunjung TBM, tapi belum tentu akan meningkatkan minat baca pengunjung, bisa jadi mereka datang hanya untuk menikmati fasilitas hostspot gratis, bukan untuk membaca. Selain itu penyediaan area hotspot gratis tidak dapat dengan mudah diterapkan di semua daerah di Indonesia mengingat belum meratanya penyediaan koneksi internet di negara kita.

Ehmm..jadi apa yang harus kita lakukan untuk dapat meningkatkan minat baca masyarakat Indonesia?.

The first and the most important thing to do called membiasakan diri sendiri untuk cinta membaca.Perubahan harus selalu dimulai dari diri sendiri pastinya. Memang ini bukan perkara mudah, terlebih lagi bagi orang yang sudah berada pada tahap usia dewasa. Menanamkan kebiasaan membaca pada orang dewasa ibaratnya membutuhkan ‘ketelateanan’ yang luar biasa, tak semudah menanamkan kebiasaan serupa pada anak-anak. Saya menawarkan beberapa langkah yang insya Allah cukup praktis dalam menumbuhkan kebiasaan membaca orang dewasa *langkah ini sudah pernah saya rekomendasikan pada beberapa teman dan menurut mereka berhasil meskipun butuh waktu yang tidak instan* :

langkah 1
mensugesti diri kita sendiri bahwa “membaca itu menyenangkan”. pada tahapan awal kita bisa mencoba dengan membiasakan diri membaca koran atau majalah, paling tidak 5 artikel yang digemari per harinya.
langkah 2
apabila langkah di atas sudah berhasil dibiasakan dalam kurun waktu kurang lebih 3 bulan, mulailah dengan beralih ke buku. pilih jenis buku yang disukai, membaca 5 lembar setiap hari rasanya tidak cukup memberatkan kan?.
langkah 3
setelah kebiasaan membaca 5 lembar dapat telaksana secara rutin selama 3 bulan, kita dapat melanjutkan dengan menyisihkan waktu khusus untuk membaca per harinya. menurut hemat saya, 30-60 menit per hari cukup untuk mengawali. kita juga sebaiknya mencatat mampu membaca berapa lembar selama kurun waktu yang kita tentukan.
langkah 4
setelah berhasil menjalankan langkah ke 3 kita dapat menambah durasi waktu membaca dan juga jumlah lembar yang dibaca sesuai dengan kemauan kita *dengan catatan harus ada peningkatan kualitas dan kuantitas kebiasaan membaca kita*. di samping itu tema bacaan juga sudah waktunya diberi variasi untuk menghindari rasa bosan dan jenuh.
langkah 5
untuk menyempurnakan keempat langkah di atas alangkah baiknya kalau kita juga berbagi tentang apa yang sudah kita baca pada orang lain –boleh teman, saudara ataupun komunitas baca-. Hal ini dapat membantu kita untuk memperkaya pengetahuan dengan cara bertukar pikiran dengan orang lain. tapi memang langkah kelima ini tak mudah, terlebih lagi untuk menemukan teman yang dapat diajak berbagi tentang bacaan kita –tapi tak mudah bukan berarti tak mungkin kan?-.


to be continued..

Minggu, 04 Mei 2014

Bukan Flu Biasa

Tulisan ini sebenrnya sudah lama sekali saya buat, tepatnya satu minggu tepat setelah saya terdiagnosis menderita sinusitis pada tahun 2005. Saya menuliskan kembali 'ceramah' yang diberikan dokter pada saat menjelaskan hasil foto hidung saya. Untuk menambah pengetahuan saya tentang sinusitis, saya juga membaca beberapa laman kesehatan berharap dapat menemukan cara pengobatan tercepat -tanpa operasi- yang mungkin dapat saya lakukan. Saya juga berbagi cerita dengan teman-teman sesama penderita sinusitis untuk memperoleh pengetahuan lebih tentang penyakit -yang nampaknya enteng- ini.

Tanpa sengaja saya temukan tulisan saya yang sudah berumur kurang lebih 9 tahun ini dalam hardisk portable. And i just wanna share it now. Hopefully it will help you all :)


Dan semuanya berasal dari penyakit influenza yang sering dianggap remeh oleh masyarakat -termasuk saya-.
Influenza atau yang lazim disebut flu memang menjadi penyakit yang dianggap enteng oleh masyarakat. Cukup dengan minum obat dan istirahat saja akan langsung sembuh. Memang benar demikian adanya. Tapi kalau obat dan istirahat tak juga meredakan dan flu yang dialami menjadi berkepanjangan -saya mengami influenza selama kurang lebih 2 bulan sebelum didiagnosis mengidap sinusitis-, mungkin Anda harus mulai waspada akan gejala sinusitis.

Menurut website kesehatan terbesar di Inggris, NHS Choices, peradangan pada rongga sinus atau yang lazim disebut sinusitis sebenarnya disebabkan oleh infeksi bakteri dan virus. Mungkin sebagian besar masyarakat awam belum mengetahui apa sebenarnya rongga sinus dan dimana letaknya. Manusia memiliki 4 pasang rongga sinus, 2 rongga terletak di dahi, 2 rongga di belakang kedua mata, 2 rongga di belakang tulang pipi dan 2 rongga di kedua sisi jembatan hidung. Rongga sinus berfungsi sebagai pengontrol jumlah suhu dan cairan yang akan masuk ke dalam paru-paru kita. Pada umumnya, lendir secara alami diproduksi oleh rongga sinus. Peradangan yang terjadi pada rongga tersebut menyebabkan penyumbatan aliran lendir yang seharusnya dikeluarkan.

Gejala awal penyakit sinusitis dapat dikatakan mirip dengan gejala influenza. Penderita akan mengalami peningkatan suhu tubuh, hidung tersembat, pusing, dan juga rasa sakit dan nyeri di wajah, tepatnya di daerah dahi, pipi, hidung dan di antara mata. Oleh karena itu tak jarang penderita tak menyadari bahwa dirinya mengidap sinusitis.
Sinusitis diklasifikasikan menjadi dua, yakni sinusitis akut dan kronis. Sinusitis akut diawali dengan gejala mirip influenza yang berlangsung selama kurun waktu 12 hari. Apabila gejala tersebut berlangsung melebihi 12 hari dapat dikatakan penderita mengalami sinusitis kronis. Penderita sinusitis kronis biasanya mengeluhkan dirinya mengidap influenza selama berbulan-bulan.

Penderita sinusitis, baik akut maupun kronis dapat mengkonsumsi obat penghilang rasa sakit untuk meredakan nyeri di bagian wajah. Berdasarkan informasi yang saya peroleh dari Majalah kesehatan Kanada, Best Health, penanganan sinusitis juga bisa dilakukan di rumah dengan pemberian uap panas pada daerah wajah dan hidung dengan menggunakan baskom yang diisi dengan air panas. Penderita sinusitis sebaiknya banyak minum air -bukan air es- agar lendir menjadi lebih encer dan mudah keluar -saya melakukan hal yang paling simple, yakni menggunakan air hangat yang saya masukkan dalam baskom untuk kemudian saya hirup uap yang berasal dari air hangat tersebut-. Ada baiknya jika mulai saat ini kita semua lebih mewaspadai gejala influenza, terlebih lagi jika sudah mengalami gejala tersebut lebih dari 12 hari. Konsultasikan dengan dokter tentang gejala tersebut untuk melakukan deteksi dini terhadap sinusitis.

Semoga semuanya sehat selalu!

Senin, 28 April 2014

Wodaabe, suku nomaden Afrika dengan segala keunikannya


Hidup berpindah dari satu daerah ke daerah lain alias nomaden ternyata masih dijalani oleh beberapa etnis di Afrika saat ini, salah satunya adalah etnis Wodaabé di Afrika Barat.

Secara historis, etnis Wodaabé merupakan pecahan dari etnis Fulani, etnis nomaden asli Afrika. Etnis Fulani terpecah ketika melakukan migrasi dari daerah selatan Sungai Nil ke Afrika Barat. Sebagian dari mereka masuk Islam dan memilih untuk hidup menetap. Sebagian lainnya tetap hidup nomaden dan menyebut dirinya etnis Wodaabé. Saat ini jumlah masyarakat mereka diperkirakan mencapai 200.000 jiwa. Sepanjang tahun masyarakat Wodaabé hidup berpindah-pindah dari satu ladang ke ladang lain di Afrika Barat dengan membawa serta sapi-sapi dan hewan ternak mereka. Perpindahan mereka sangat bergantung pada perubahan musim. Kegiatan perekonomian masyarakat Wodaabé adalah beternak. Susu yang dihasilkan oleh sapi, kambing, dan domba diperdagangkan oleh mereka. Daging sapi hanya dimakan pada saat perayaan-perayaan tertentu. Untuk melakukan perpindahan masyarakat Wodaabé memanfaatkan ternak unta dan keledai mereka sebagai alat transportasi.

Etnis Wodaabé memiliki keunikan yang menjadi ciri khas kelompok mereka. Cara wanita Wodaabé dalam menilai pria dapat dikatakan berbeda dengan kebanyakan masyarakat dunia. Kalau artis pria Hollywood seperti Arnold Schwaznager, Vin Diesel dan Silverster Stallone yang berwajah gahar dan bertubuh kekar menjadi idola, mungkin mereka justru akan menjadi pria kelas dua di Wodaabé. Wanita cantik, itu sudah menjadi hal yang biasa karena memang fitrah wanita untuk menjaga kecantikan mereka. Namun berbeda yang terjadi di Wodaabé. Di komunitas etnis nomaden ini justru pria lah yang dituntut untuk “cantik”. Pria-pria yang diidolakan di Wodaabé adalah mereka memiliki bentuk rahang tirus, leher jenjang, hidung ramping, bibir tipis, dan jari yang lentik. Wanita Wodaabé lebih memilih untuk menikahi pria berwajah tirus dibandingkan dengan pria yang berwajah gahar yang dinilai kurang memikat. Jenis pria kurang “cantik “ ini bahkan harus rela berbagi istri mereka dengan pria yang lebih “cantik” di etnis mereka.
Pria Ideal ala Wodaabé

Meskipun gadis Wodaabé menganut seks bebas, pernikahan tetap menjadi hal yang sakral bagi mereka. Pernikahan masyarakat Wodaabé dilakukan pada masa perayaan Cure Salée atau Salt Cure yang merupakan perayaan terbesar bagi masyarakat nomaden di Afrika. Pada perayaan ini masyarakat etnis Wodaabé membawa ternak mereka ke kawasan In-Gallu yang kaya akan garam. Kandungan garam dipercaya mampu meningkatkan kesehatan sapi gembala. Setelah memberi makan hewan ternak mereka, masyarakat Wodaabé menyelenggarakan festival Gerewol. Pada festival ini kaum pria lajang Wodaabé menampilkan tarian Yaake sekaligus sebagai ajang “kontes kecantikan” bagi mereka. Sebelum menari para pria sibuk mendandani diri mereka dengan aksesoris-aksesoris, seperti gelang, kalung dan hiasan rambut. Singkat kata, pria Wodaabé harus pandai bersolek. Mereka rela menghabiskan waktu berjam-jam untuk mempercantik diri mereka sebelum menari di depan para gadis Wodaabé

Gadis Wodaabé akan menonton tarian Yaake dengan seksama sekaligus memilih pria “cantik” yang akan mereka jadikan suami. Tarian ini dilakukan sekelompok pria Wodaabé dengan cara berjalan memutar seperti lingkaran dan saling merangkul bahu satu sama lain. Di belakang mereka berdiri para gadis. Para gadis tersebut menunggu sampai pria “cantik” favorit mereka berputar tepat di depan mereka dan mereka akan menepuk bahu pria untuk menandakan ketertarikan.

Pihak yang mengajukan lamaran adalah pihak wanita. Apabila lamaran pernikahan tersebut diterima, maka pihak laki-laki diwajibkan untuk membayar mas kawin berupa 3 ekor sapi yang akan disembelih dan dijadikan hidangan pada saat pesta pernikahan. Perlu dicatat bahwa masyarakat Wodaabé hanya menikah dengan sesama etnis mereka untuk menjaga kelestarian keturunan mereka di masa yang akan datang.

BUDIDAYA LEBAH DI SLOVENIA

Lebah, ya hewan kecil penghasil madu ini ternyata memiliki nilai yang cukup istimewa di Slovenia. Budidaya lebah asli Slovenia, yakni jenis lebah Carniolan, merupakan salah satu warisan nenek moyang di negara tersebut yang diwariskan secara turun temurun. Tak hanya untuk diambil madunya, budidaya lebah di negara ini juga membawa pengaruh bagi kesenian dan pariwisata.


Slovenia adalah satu-satunya negara di Uni Eropa yang menetapkan lebah sebagai satwa yang harus dilindungi. Pemerintah Slovenia pun menjadikan lebah asli Slovenia, yakni jenis lebah Carniolan sebagai bagian dari warisan alam dan budaya asli Slovenia. Jenis lebah ini pun menjelma bak selebriti di negara tersebut. Berbeda dengan jenis lebah lain, Carniolan bersifat jinak dan terkenal jarang menyengat manusia. Kelebihan lain yang mereka miliki adalah kekebalan tubuh yang baik dan tahan terhadap udara dingin. Madu yang dihasilkan lebah Carniolan termasuk salah satu madu dengan kualitas nomor satu di Eropa. Madu Carniolan juga diolah menjadi lilin kualitas nomor satu dan sudah diekspor ke berbagai negara di Eropa.

Budidaya lebah Carniolan sudah dilakukan masyarakat Slovenia sejak abad 17. Perkembangan sains pada era itu melahirkan pakar-pakar budidaya lebah terkenal. Teori budidaya lebah yang paling terkenal dihasilkan oleh Anton Janša dan Peter Pavel Glavar. Keduanya merupakan warga asli Slovenia yang didaulat untuk menjadi pengajar di sekolah budidaya lebah Vienna, Austria. Teori mereka masih diterapkan oleh para budidayawan lebah Slovenia saat ini. Bagi para budidayawan lebah pemula di Slovenia yang ingin menambah pengetahuan mereka tentang dunia budidaya lebah, majalah Slovenski čebelar (Budidaya Lebah ala Slovenia) hadir untuk memberikan jawabannya. Majalah ini diterbitkan berkat kerjasama antara komunitas budidayawan lebah dan pemerintah Slovenia.

Panel sarang lebah yang sekaligus menjadi lahan untuk berkesenian

Budidaya lebah Carnolian membawa keuntungan besar bagi sektor ekonomi Slovenia. Tak hanya penjualan madu Carniolan saja yang memberikan pemasukan bagi negara itu. Budidaya lebah juga mengembangkan kesenian yang menggerakkan geliat sektor pawisata Slovenia. Berkat budidaya yang sudah dilakukan masyarakat Slovenia sejak abad 17 ini juga lahirlah seni lukis unik. Seni melukis di panel sarang lebah yang disebut seni lukis kranjič sudah dikenal di Slovenia sejak pertengahan abad 18. Pada mulanya seni lukis ini ditujukan untuk menandai kepemilikan panel sarang lebah sehingga lebih mudah dikenali. Saat ini sudah ada museum dan galeri khusus yang memamerkan deretan lukisan menawan di panel sarang lebah.


Sektor pariwisata Slovenia menawarkan wisata budidaya lebah yang biasa dikunjungi wisatawanpada saat musim panas. Pusat budidaya lebah yang paling terkenal terletak di daerah Brdo pri Lukovici menjadi destinasi wajib bagi wisatawan lokal maupun mancanegara. Wisatawan juga tertarik untuk berkunjung ke museum Apikultur di Radovljica yang letaknya berdekatan dengan Breznica dan rumah lebah Janša yang sudah berdiri sejak 200 tahun silam. Hal unik yang ditawarkan Slovenia dan menjadi ciri khas pariwisata di negara ini adalah atraksi lebah.

Masyarakat Slovenia telah lama menganggap lebah sebagai cerminan sifat rajin. Bahkan lebah telah digunakan sebagai simbol dalam dunia finansial. Gambar lebah tampak di sampul buku bank dan di belakang beberapa uang koin Slovenia. Masyarakat Slovenia pun menyamakan diri mereka dengan lebah. Mengapa harus lebah?, karena sifat lebah yang rajin dan reputasi mereka sendiri sebagai pekerja keras. Pepatah terkenal Slovenia berbunyi, ”Perhatikanlah lebah, dan tirulah mereka.”