Selasa, 14 Oktober 2014

jalan Tuhan

rasanya seperti membaca buku yang dituliskan Tuhan
mengamati dirimu hidup dalam fiksi
membaca bagaimana kehidupan membawamu dari satu episode ke episode lainnya
melewati maju mundurnya alur
sesaat di masa depan lalu kembali terseret ke masa lalu
sedetik tertawa tuk kemudian merasakan duka
menahan air mata tuk selanjutnya menapaki bahagia
kau hanyalah aktor atau aktrisnya
hanya perlu menjalankan peran tanpa bisa memilih
eits..bukan berarti kau tak punya pilihan
jangan lupa, aktor atau aktris juga bisa improvisasi

sisa rindu, iya cuma sisanya saja yang aku tahu

rindu kita satu, beradu diantara serpihan cerita yang tlah lalu
rindu kita satu, terbelenggu dalam masa yang sudah berlalu
rindu kita satu, terpadu dalam syahdu bahagia yang kian semu
rindu kita satu, dalam hitungan waktu yang tak pernah kita tahu
rindu kita satu, satu-satunya yang tak pernah termakan waktu,
tak peduli aku dan kamu sudah tak lagi satu

from zero to hero

entah mengapa hal kecil dapat sekejap menjadi maha besar..
yang terlihat tak berharga menjelma menjadi maha sempurna..
semua yang nampaknya sia-sia berubah menjadi maha guna..
dan aku mulai belajar untuk menghargai semua yang ada..
tak peduli kecil, tak berharga dan nampak sia-sia..
untuk menjadi sepuluh tentu harus berawal pada pijakan bilangan 0..
0 yang tak punya nilai, tak berharga dan tak sempurna..

Jumat, 30 Mei 2014

MINAT BACA RENDAH?, APA YA YANG SALAH?

Minat Baca Rendah, Masalah Klasik Masyarakat Indonesia

who doesn’t like reading?, who doesn’t love books?, who doesn’t obsess with the smell of the books?, sorry to say but i think the one doesn’t feel that is the poorest one. hehehe...

membaca adalah jendela dunia, yang tak suka membaca, ibaratnya hidup di dalam rumah tanpa jendela, yang hanya punya satu pintu saja


Membaca, ya membaca adalah aktifitas yang ternyata tidak terlalu mendapatkan perhatian dari masyarakat di Indonesia. Sampai saat ini masalah rendahnya minat baca masyarakat di Indonesia secara umum menjadi PR yang tak kunjung terselesaikan –mungkin yang ngerjain PR sampe bosen-. Banyak hal yang dikambinghitamkan sebagai penyebab rendahnya minat baca masyarakat kita, mulai dari kurang memadainya fasilitas perpustakaan di Indonesia, mahalnya harga buku, dan membaca yang dianggap sebagai aktifitas yang membosankan. Penyebab lain rendahnya minat baca sering kali dikaitkan dengan tradisi lisan yang diwariskan oleh nenek moyang kita. Tradisi lisan membiasakan kita untuk belajar melalui proses mendengar. Jadi tak heran kalau minat untuk memperoleh pengetahuan melalui membaca belum bisa dijadikan biasa. Hemat saya, tradisi meskipun memang membawa pengaruh dalam perkembangan suatu bangsa, bukan berarti harus dijadikan suatu yang ‘harus’ mutlak diikuti. Kita bisa mengembangkan tradisi membaca tanpa harus mengesampingkan tradisi lisan yang diwariskan oleh nenek moyang.

Saat sedang iseng-iseng menjelajah di dunia maya, saya menemukan teks berita online yang –menurut saya- judulnya sangat menarik, “Kemendikbud Kesulitan Meningkatkan Minat Baca Masyarakat RI”. -Wow, sesulit itukah?, miris sekali- pikir saya. Berkaitan dengan penyebab rendahnya minat baca di Indonesia sudah sering dan banyak dikaji oleh para ahli dan praktisi pendidikan. Sudah banyak penelitian yang dilakukan dalam rangka mengatasi rendahnya minat baca masyarakat kita. Akan tetapi pada praktiknya di lapangan memang tak semudah membalikkan telapak tangan. Pemerintah bukannya tidak melakukan apa-apa menghadapi fenomena yang sudah mendarah daging ini. Program terbaru yang digagas pemerintah adalah TBM (Taman Baca Masyarakat). Program ini diharapkan dapat meningkatkan minat membaca masyarakat dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Menurut hemat saya kehadiran TBM seharusnya dapat menjadi alternatif bagi masyarakat yang merasa kesulitan untuk menemukan buku bacaan atau mereka yang mengeluh malas mengunjungi perpustakaan. TBM sengaja ditempatkan pemerintah di area publik, seperti pasar, terminal, rumah sakit, taman kota, dan ruang publik lainnya. Selain mendapat fasilitas membaca gratis, masyarakat kita juga diajari menulis. Masyarakat juga diperkenankan mengajukan proposal permohonan TBM di daerah tempat tinggal mereka. Dengan begitu pemerintah berharap dapat memfasilitasi masyarakat secara merata. Saat ini sudah ada 6000 TBM yang tersebar di seluruh Indonesia. Jumlah yang fantastis. Namun pertanyaannya “apakah 6000 TBM ini sudah dapat dimaksimalkan peranannya oleh masyarakat Indonesia?”

Andi F Noya, Duta Baca Indonesia, berpendapat bahwa meningkatkan minat baca masyarakat Indonesia memang sulit, tapi bukannya tidak mungkin. –everything is possible as long as we try harder to make it real-. Saya sedikit mengutip pendapat pria kelahiran tahun 1960 ini berkaitan dengan program TBM "Meningkatkan minat membaca masyarakat itu yang sulit, sehingga kami terus berupaya agar mereka mau membaca. Saya sangat mendukung sekali program ini, namun jangan hanya buku karena dikhawatirkan hanya menjadi pajangan saja". Memang benar, saya rasa TBM memang perlu disinergikan dengan kegiatan positif yang dapat menarik masyarakat untuk datang, misalnya saja dengan kegiatan bedah buku, diskusi film, kelas mendongeng bagi anak, dan pendampingan kegiatan membaca oleh komunitas baca yang ada di masing-masing daerah. Saya sempat berdiskusi dengan beberapa teman yang juga gemar membaca. Ada diantara mereka yang berpendapat ditambahkannya area hotspot gratis di seputaran TBM akan menambah minat masyarakat untuk mengunjungi TBM. Tapi saya merasa pendapat tersebut kurang tepat. Adanya area hotspot gratis mungkin hanya akan meningkatkan pengunjung TBM, tapi belum tentu akan meningkatkan minat baca pengunjung, bisa jadi mereka datang hanya untuk menikmati fasilitas hostspot gratis, bukan untuk membaca. Selain itu penyediaan area hotspot gratis tidak dapat dengan mudah diterapkan di semua daerah di Indonesia mengingat belum meratanya penyediaan koneksi internet di negara kita.

Ehmm..jadi apa yang harus kita lakukan untuk dapat meningkatkan minat baca masyarakat Indonesia?.

The first and the most important thing to do called membiasakan diri sendiri untuk cinta membaca.Perubahan harus selalu dimulai dari diri sendiri pastinya. Memang ini bukan perkara mudah, terlebih lagi bagi orang yang sudah berada pada tahap usia dewasa. Menanamkan kebiasaan membaca pada orang dewasa ibaratnya membutuhkan ‘ketelateanan’ yang luar biasa, tak semudah menanamkan kebiasaan serupa pada anak-anak. Saya menawarkan beberapa langkah yang insya Allah cukup praktis dalam menumbuhkan kebiasaan membaca orang dewasa *langkah ini sudah pernah saya rekomendasikan pada beberapa teman dan menurut mereka berhasil meskipun butuh waktu yang tidak instan* :

langkah 1
mensugesti diri kita sendiri bahwa “membaca itu menyenangkan”. pada tahapan awal kita bisa mencoba dengan membiasakan diri membaca koran atau majalah, paling tidak 5 artikel yang digemari per harinya.
langkah 2
apabila langkah di atas sudah berhasil dibiasakan dalam kurun waktu kurang lebih 3 bulan, mulailah dengan beralih ke buku. pilih jenis buku yang disukai, membaca 5 lembar setiap hari rasanya tidak cukup memberatkan kan?.
langkah 3
setelah kebiasaan membaca 5 lembar dapat telaksana secara rutin selama 3 bulan, kita dapat melanjutkan dengan menyisihkan waktu khusus untuk membaca per harinya. menurut hemat saya, 30-60 menit per hari cukup untuk mengawali. kita juga sebaiknya mencatat mampu membaca berapa lembar selama kurun waktu yang kita tentukan.
langkah 4
setelah berhasil menjalankan langkah ke 3 kita dapat menambah durasi waktu membaca dan juga jumlah lembar yang dibaca sesuai dengan kemauan kita *dengan catatan harus ada peningkatan kualitas dan kuantitas kebiasaan membaca kita*. di samping itu tema bacaan juga sudah waktunya diberi variasi untuk menghindari rasa bosan dan jenuh.
langkah 5
untuk menyempurnakan keempat langkah di atas alangkah baiknya kalau kita juga berbagi tentang apa yang sudah kita baca pada orang lain –boleh teman, saudara ataupun komunitas baca-. Hal ini dapat membantu kita untuk memperkaya pengetahuan dengan cara bertukar pikiran dengan orang lain. tapi memang langkah kelima ini tak mudah, terlebih lagi untuk menemukan teman yang dapat diajak berbagi tentang bacaan kita –tapi tak mudah bukan berarti tak mungkin kan?-.


to be continued..

Minggu, 04 Mei 2014

Bukan Flu Biasa

Tulisan ini sebenrnya sudah lama sekali saya buat, tepatnya satu minggu tepat setelah saya terdiagnosis menderita sinusitis pada tahun 2005. Saya menuliskan kembali 'ceramah' yang diberikan dokter pada saat menjelaskan hasil foto hidung saya. Untuk menambah pengetahuan saya tentang sinusitis, saya juga membaca beberapa laman kesehatan berharap dapat menemukan cara pengobatan tercepat -tanpa operasi- yang mungkin dapat saya lakukan. Saya juga berbagi cerita dengan teman-teman sesama penderita sinusitis untuk memperoleh pengetahuan lebih tentang penyakit -yang nampaknya enteng- ini.

Tanpa sengaja saya temukan tulisan saya yang sudah berumur kurang lebih 9 tahun ini dalam hardisk portable. And i just wanna share it now. Hopefully it will help you all :)


Dan semuanya berasal dari penyakit influenza yang sering dianggap remeh oleh masyarakat -termasuk saya-.
Influenza atau yang lazim disebut flu memang menjadi penyakit yang dianggap enteng oleh masyarakat. Cukup dengan minum obat dan istirahat saja akan langsung sembuh. Memang benar demikian adanya. Tapi kalau obat dan istirahat tak juga meredakan dan flu yang dialami menjadi berkepanjangan -saya mengami influenza selama kurang lebih 2 bulan sebelum didiagnosis mengidap sinusitis-, mungkin Anda harus mulai waspada akan gejala sinusitis.

Menurut website kesehatan terbesar di Inggris, NHS Choices, peradangan pada rongga sinus atau yang lazim disebut sinusitis sebenarnya disebabkan oleh infeksi bakteri dan virus. Mungkin sebagian besar masyarakat awam belum mengetahui apa sebenarnya rongga sinus dan dimana letaknya. Manusia memiliki 4 pasang rongga sinus, 2 rongga terletak di dahi, 2 rongga di belakang kedua mata, 2 rongga di belakang tulang pipi dan 2 rongga di kedua sisi jembatan hidung. Rongga sinus berfungsi sebagai pengontrol jumlah suhu dan cairan yang akan masuk ke dalam paru-paru kita. Pada umumnya, lendir secara alami diproduksi oleh rongga sinus. Peradangan yang terjadi pada rongga tersebut menyebabkan penyumbatan aliran lendir yang seharusnya dikeluarkan.

Gejala awal penyakit sinusitis dapat dikatakan mirip dengan gejala influenza. Penderita akan mengalami peningkatan suhu tubuh, hidung tersembat, pusing, dan juga rasa sakit dan nyeri di wajah, tepatnya di daerah dahi, pipi, hidung dan di antara mata. Oleh karena itu tak jarang penderita tak menyadari bahwa dirinya mengidap sinusitis.
Sinusitis diklasifikasikan menjadi dua, yakni sinusitis akut dan kronis. Sinusitis akut diawali dengan gejala mirip influenza yang berlangsung selama kurun waktu 12 hari. Apabila gejala tersebut berlangsung melebihi 12 hari dapat dikatakan penderita mengalami sinusitis kronis. Penderita sinusitis kronis biasanya mengeluhkan dirinya mengidap influenza selama berbulan-bulan.

Penderita sinusitis, baik akut maupun kronis dapat mengkonsumsi obat penghilang rasa sakit untuk meredakan nyeri di bagian wajah. Berdasarkan informasi yang saya peroleh dari Majalah kesehatan Kanada, Best Health, penanganan sinusitis juga bisa dilakukan di rumah dengan pemberian uap panas pada daerah wajah dan hidung dengan menggunakan baskom yang diisi dengan air panas. Penderita sinusitis sebaiknya banyak minum air -bukan air es- agar lendir menjadi lebih encer dan mudah keluar -saya melakukan hal yang paling simple, yakni menggunakan air hangat yang saya masukkan dalam baskom untuk kemudian saya hirup uap yang berasal dari air hangat tersebut-. Ada baiknya jika mulai saat ini kita semua lebih mewaspadai gejala influenza, terlebih lagi jika sudah mengalami gejala tersebut lebih dari 12 hari. Konsultasikan dengan dokter tentang gejala tersebut untuk melakukan deteksi dini terhadap sinusitis.

Semoga semuanya sehat selalu!

Senin, 28 April 2014

Wodaabe, suku nomaden Afrika dengan segala keunikannya


Hidup berpindah dari satu daerah ke daerah lain alias nomaden ternyata masih dijalani oleh beberapa etnis di Afrika saat ini, salah satunya adalah etnis Wodaabé di Afrika Barat.

Secara historis, etnis Wodaabé merupakan pecahan dari etnis Fulani, etnis nomaden asli Afrika. Etnis Fulani terpecah ketika melakukan migrasi dari daerah selatan Sungai Nil ke Afrika Barat. Sebagian dari mereka masuk Islam dan memilih untuk hidup menetap. Sebagian lainnya tetap hidup nomaden dan menyebut dirinya etnis Wodaabé. Saat ini jumlah masyarakat mereka diperkirakan mencapai 200.000 jiwa. Sepanjang tahun masyarakat Wodaabé hidup berpindah-pindah dari satu ladang ke ladang lain di Afrika Barat dengan membawa serta sapi-sapi dan hewan ternak mereka. Perpindahan mereka sangat bergantung pada perubahan musim. Kegiatan perekonomian masyarakat Wodaabé adalah beternak. Susu yang dihasilkan oleh sapi, kambing, dan domba diperdagangkan oleh mereka. Daging sapi hanya dimakan pada saat perayaan-perayaan tertentu. Untuk melakukan perpindahan masyarakat Wodaabé memanfaatkan ternak unta dan keledai mereka sebagai alat transportasi.

Etnis Wodaabé memiliki keunikan yang menjadi ciri khas kelompok mereka. Cara wanita Wodaabé dalam menilai pria dapat dikatakan berbeda dengan kebanyakan masyarakat dunia. Kalau artis pria Hollywood seperti Arnold Schwaznager, Vin Diesel dan Silverster Stallone yang berwajah gahar dan bertubuh kekar menjadi idola, mungkin mereka justru akan menjadi pria kelas dua di Wodaabé. Wanita cantik, itu sudah menjadi hal yang biasa karena memang fitrah wanita untuk menjaga kecantikan mereka. Namun berbeda yang terjadi di Wodaabé. Di komunitas etnis nomaden ini justru pria lah yang dituntut untuk “cantik”. Pria-pria yang diidolakan di Wodaabé adalah mereka memiliki bentuk rahang tirus, leher jenjang, hidung ramping, bibir tipis, dan jari yang lentik. Wanita Wodaabé lebih memilih untuk menikahi pria berwajah tirus dibandingkan dengan pria yang berwajah gahar yang dinilai kurang memikat. Jenis pria kurang “cantik “ ini bahkan harus rela berbagi istri mereka dengan pria yang lebih “cantik” di etnis mereka.
Pria Ideal ala Wodaabé

Meskipun gadis Wodaabé menganut seks bebas, pernikahan tetap menjadi hal yang sakral bagi mereka. Pernikahan masyarakat Wodaabé dilakukan pada masa perayaan Cure Salée atau Salt Cure yang merupakan perayaan terbesar bagi masyarakat nomaden di Afrika. Pada perayaan ini masyarakat etnis Wodaabé membawa ternak mereka ke kawasan In-Gallu yang kaya akan garam. Kandungan garam dipercaya mampu meningkatkan kesehatan sapi gembala. Setelah memberi makan hewan ternak mereka, masyarakat Wodaabé menyelenggarakan festival Gerewol. Pada festival ini kaum pria lajang Wodaabé menampilkan tarian Yaake sekaligus sebagai ajang “kontes kecantikan” bagi mereka. Sebelum menari para pria sibuk mendandani diri mereka dengan aksesoris-aksesoris, seperti gelang, kalung dan hiasan rambut. Singkat kata, pria Wodaabé harus pandai bersolek. Mereka rela menghabiskan waktu berjam-jam untuk mempercantik diri mereka sebelum menari di depan para gadis Wodaabé

Gadis Wodaabé akan menonton tarian Yaake dengan seksama sekaligus memilih pria “cantik” yang akan mereka jadikan suami. Tarian ini dilakukan sekelompok pria Wodaabé dengan cara berjalan memutar seperti lingkaran dan saling merangkul bahu satu sama lain. Di belakang mereka berdiri para gadis. Para gadis tersebut menunggu sampai pria “cantik” favorit mereka berputar tepat di depan mereka dan mereka akan menepuk bahu pria untuk menandakan ketertarikan.

Pihak yang mengajukan lamaran adalah pihak wanita. Apabila lamaran pernikahan tersebut diterima, maka pihak laki-laki diwajibkan untuk membayar mas kawin berupa 3 ekor sapi yang akan disembelih dan dijadikan hidangan pada saat pesta pernikahan. Perlu dicatat bahwa masyarakat Wodaabé hanya menikah dengan sesama etnis mereka untuk menjaga kelestarian keturunan mereka di masa yang akan datang.

BUDIDAYA LEBAH DI SLOVENIA

Lebah, ya hewan kecil penghasil madu ini ternyata memiliki nilai yang cukup istimewa di Slovenia. Budidaya lebah asli Slovenia, yakni jenis lebah Carniolan, merupakan salah satu warisan nenek moyang di negara tersebut yang diwariskan secara turun temurun. Tak hanya untuk diambil madunya, budidaya lebah di negara ini juga membawa pengaruh bagi kesenian dan pariwisata.


Slovenia adalah satu-satunya negara di Uni Eropa yang menetapkan lebah sebagai satwa yang harus dilindungi. Pemerintah Slovenia pun menjadikan lebah asli Slovenia, yakni jenis lebah Carniolan sebagai bagian dari warisan alam dan budaya asli Slovenia. Jenis lebah ini pun menjelma bak selebriti di negara tersebut. Berbeda dengan jenis lebah lain, Carniolan bersifat jinak dan terkenal jarang menyengat manusia. Kelebihan lain yang mereka miliki adalah kekebalan tubuh yang baik dan tahan terhadap udara dingin. Madu yang dihasilkan lebah Carniolan termasuk salah satu madu dengan kualitas nomor satu di Eropa. Madu Carniolan juga diolah menjadi lilin kualitas nomor satu dan sudah diekspor ke berbagai negara di Eropa.

Budidaya lebah Carniolan sudah dilakukan masyarakat Slovenia sejak abad 17. Perkembangan sains pada era itu melahirkan pakar-pakar budidaya lebah terkenal. Teori budidaya lebah yang paling terkenal dihasilkan oleh Anton Janša dan Peter Pavel Glavar. Keduanya merupakan warga asli Slovenia yang didaulat untuk menjadi pengajar di sekolah budidaya lebah Vienna, Austria. Teori mereka masih diterapkan oleh para budidayawan lebah Slovenia saat ini. Bagi para budidayawan lebah pemula di Slovenia yang ingin menambah pengetahuan mereka tentang dunia budidaya lebah, majalah Slovenski čebelar (Budidaya Lebah ala Slovenia) hadir untuk memberikan jawabannya. Majalah ini diterbitkan berkat kerjasama antara komunitas budidayawan lebah dan pemerintah Slovenia.

Panel sarang lebah yang sekaligus menjadi lahan untuk berkesenian

Budidaya lebah Carnolian membawa keuntungan besar bagi sektor ekonomi Slovenia. Tak hanya penjualan madu Carniolan saja yang memberikan pemasukan bagi negara itu. Budidaya lebah juga mengembangkan kesenian yang menggerakkan geliat sektor pawisata Slovenia. Berkat budidaya yang sudah dilakukan masyarakat Slovenia sejak abad 17 ini juga lahirlah seni lukis unik. Seni melukis di panel sarang lebah yang disebut seni lukis kranjič sudah dikenal di Slovenia sejak pertengahan abad 18. Pada mulanya seni lukis ini ditujukan untuk menandai kepemilikan panel sarang lebah sehingga lebih mudah dikenali. Saat ini sudah ada museum dan galeri khusus yang memamerkan deretan lukisan menawan di panel sarang lebah.


Sektor pariwisata Slovenia menawarkan wisata budidaya lebah yang biasa dikunjungi wisatawanpada saat musim panas. Pusat budidaya lebah yang paling terkenal terletak di daerah Brdo pri Lukovici menjadi destinasi wajib bagi wisatawan lokal maupun mancanegara. Wisatawan juga tertarik untuk berkunjung ke museum Apikultur di Radovljica yang letaknya berdekatan dengan Breznica dan rumah lebah Janša yang sudah berdiri sejak 200 tahun silam. Hal unik yang ditawarkan Slovenia dan menjadi ciri khas pariwisata di negara ini adalah atraksi lebah.

Masyarakat Slovenia telah lama menganggap lebah sebagai cerminan sifat rajin. Bahkan lebah telah digunakan sebagai simbol dalam dunia finansial. Gambar lebah tampak di sampul buku bank dan di belakang beberapa uang koin Slovenia. Masyarakat Slovenia pun menyamakan diri mereka dengan lebah. Mengapa harus lebah?, karena sifat lebah yang rajin dan reputasi mereka sendiri sebagai pekerja keras. Pepatah terkenal Slovenia berbunyi, ”Perhatikanlah lebah, dan tirulah mereka.”

makna dalam bahasa

Duranti (2007) mengawali pembahasan tentang makna dalam bahasa dengan menjabarkan metode formal dalam analisis bahasa. Metode formal mengacu pada analisis bahasa tanpa mempertimbangkan faktor-faktor di luar bahasa yang memiliki keterkaitan dengan bentuk bahasa itu sendiri. Para ahli bahasa memusatkan perhatiannya pada bentuk-bentuk bahasa tanpa mencoba mengkaitkanya dengan objek yang dideskripsikan bahasa tersebut di dunia nyata. Di sisi lain hadir analisis bahasa secara struktural yang di dalamnya para ahli bahasa yang menitikberatkan pada deskripsi bahasa secara sinkronis. Pendekatan struktural menganggap tidak ada relevansi antara bahasa dan faktor di luar bahasa, seperti faktor sosial dan faktor psikologis. Akan tetapi perkembangan bahasa kemudian memasukkan unsur-unsur di luar bahasa yang kemudian juga dijadikan faktor-faktor yang penting dalam memaknai sebuah bentuk bahasa. Berikut akan diulas secara mendalam tentang makna dalam bahasa secara mendalam dan dikaitkan dengan faktor sosial dan budaya.

Makna dalam bahasa berangkat dari satuan unit makna terkecil yang lazim disebut morfem. Terbentuknya morfem didahului dengan adanya fonem-fonem yang menyusunnya. Fonem didefinisikan oleh Duranti sebagai unit abstrak yang bisa diadaptasI dengan mudah oleh penutur saat memproduksi bunyi. Perbedaan fonem menandai perbedaan makna sebuah kata, misalnya perbedaan fonem /b/ dan /p/ dalam kata-kata Bahasa Inggris /pin/ dan /bin/. Kalau perbedaan fonem tidak menandai perbedaan makna, maka bentuk tersebut hanyalah sebuah alofon (variasi) dari fonem tersebut. Konsep fonem diperkenalkan dalam bidang linguistik utuk menjabarkan fakta bahwa tidak semua variasi dalam pelafalan merupakan bentuk variasi dengan makna yang sama, akan tetapi bisa juga berbeda. Setiap komunitas bahasa memiliki fonem yang berbeda dan khas sesuai dengan bahasanya.

Apabila dikaitkan dengan budaya, perbedaan fonem juga bisa dijadikan sebagai penanda perbedaan budaya yang dimiliki oleh komunitas bahasa. Dalam ranah antropologi, Kenneth Pike memperkenalkan konsep etik dan emik yang diilhami dari konsep fonetik dan fonemik dalam ilmu bahasa. Perbedaan fonetik adalah perbedaan produksi bunyi yang tidak menyebabkan perbedaan makna, sedangkan fonemik adalah sebaliknya, yakni perbedaan produksi bunyi yang menyebabkan perbedaan makna. Etik didefinisikan Pike sebagai perspektif yang mengacu pada cara pandang budaya secara independen yang menitikberatkan pada sudut pandang peneliti. Emik hadir dengan konsep yang berlawanan, yakni perspektif yang menitikberatkan pada sudut pandang anggota komunitas budaya yang diteliti. Metode emik mencoba menggambarkan bagaimana anggota komunitas budaya menentukan makna suatu tindakan atau membedakan 2 tindakan yang ada. Berkaitan dengan penelitian linguistik antropologi, bahasa dilihat sebagai bagian dari budaya tapi bukan merupakan bagian penuh dari budaya. Ketika kita mulai berpikir tentang keterkaitan antara keduanya, maka harus kita kembalikan pada pengertian dari budaya dan bahasa itu sendiri.

Dalam banyak bahasa, konteks-konteks sosial atau hubungan antara partisipan ditandai melalui morfem-morfem tertentu yang menunjukkan bentuk hormat terhadap mitra tutur atau kejadian yang sedang berlangsung. Morfem sebagai kelanjutan dari penyatuan beberapa fonem, pada Bahasa Korea merupakan bentuk yang berkaitan erat dengan faktor sosial penutur, dimana morfem-morfem tertentu merupakan bentuk penghormatan. Bahasa Pohnpenian juga memiliki situasi yang serupa. Terdapat bentuk morfem yang menandai rasa hormat dan morfem yang merupakan bentuk yang merendahkan.
Pembentukan sebuah peristiwa bahasa dalam kehidupan sehari-hari berkaitan erat dengan proses morfologis dalam bahasa. Bahasa-bahasa di dunia memiliki proses morfologis yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut terjadi karena adanya perbedaan kaidah pada tiap-tiap bahasa. Proses morfologis terjadi pada 2 tataran, yakni pada nomina dan verba. Untuk proses morfologis nomina bisa kita lihat pada perbedaan antara bahasa yang memiliki kasus nominatif-akusatif dengan bahasa yang berkasus ergatif-absolutif. Penggunaan subjek dalam bahasa-bahasa di dunia juga bervariasi. Tidak semua bahasa bersifat seperti bahasa Inggris yang bisa menempatkan benda mati sebagai subjek (Fifty dolars will buy you a second-hand car). Dalam Bahasa Jepang, kalimat seperti yang dicontohkan di dalam kurung tidak berterima karena subjek dalam Bahasa Jepang haruslah bersifat hidup (merupakan benda hidup). Proses morfologis verba terjadi dengan penambahan morfem-morfem tertentu pada verba yang nantinya akan menjadi pemarka apakah verba tersebut merupakan verba kausatif atau non kausatif. Proses penambahan bisa dilakukan melalui infiksasi pada verba, contohnya pada Bahasa Samoan. Pada bahasa tersebut penambahan prefiks menjadi ciri pembeda antara verba kausatif dan non kausatif.
Lebih lanjut lagi, proses pemaknaan bisa dilakukan dengan menggunakan konsep yang disebut oleh Givon sebagai topikalisasi. Yang dimaksudkan dengan topikalisasi adalah pengacuan pada topik atau apa yang sedang dibicarakan dalam wacana. Perbedaan antara bahasa berkasus ergatif-absolutif dan yang berkasus nominatif-akusatif bisa terlihat dari bagian pokok yang dipentingkan, dimana bahasa berkasus ergatif- absolutif cenderung mementingkan peranan semantis dalam pengkategorian partisipan sedangkan bahasa berkasus nominatif-akusatif memberlakukan pengkategorian partisipan berdasarkan topikalisasi hierarki. Yang cenderung menjadi topik dalam sebuah kalimat adalah subjek. Subjek pada umunya berupa manusia, sebuah topik dan pasti sedangkan objek cenderung bukan manusia, non topikal dan tidak pasti. Pada ranah wacana, pemaknaan diperoleh tidak hanya serta merta melalui unsur-unsur bahasa saja, akan tetapi juga melalui unsur-unsur di luar bahasa yang melingkupi wacana tersebut. John Du Bois (1987) berpendapat bahwa dengan melihat sebuah wacana secara utuh kita bisa melihat motivasi yang ada dalam wacan tersebut. Hal ini berkaitan erat dengan relasi antara agen dan subjek dalam proses topikalisasi.

Masih berkaitan dengan topikalisasi, Hopper dan Thompson menyebutkan tentang konsep grounding yang terdiri dari foreground dan background. Foreground merupakan topikalisasi di bagian awal kalimat, sedangkan backgorund topikalisasi yang diletakkan pada bagian akhir kalimat. Peletakan topik ini berhubungan dengan sudut pandang penutur, mana yang dipentingkan menurut penutur. Menghubungkan antara tipologi bahasa dan analisis wacana, Hopper dan Thompson (1980) menghadirkan konsep transitifitas sebagai dimensi universal tata bahasa. Transitifitas sangat penting dalam linguistik antropologi karena :

a)Memperlihatkan gejala apa yang muncul sebagai perbedaan sistem morfologi yang pada kenyataannya mungkin sama dengan seperangkat fitur semantik dan pragmatik
b)Memperlihatkan pentingnya perbedaan secara semantis dalam kategori morfosintaksis
c)Menguhubungkan antara morfologi, sintaks dan perbedaan leksikal dengan fitur-fitur analisis wacana (informasi tentang foreground dan background dalam wacana)
d)Menampilkan teori implisit pada tataran agen dan partisipan yang relevan dengan kajian etnografi yang berkaitan erat dengan teori tentang action, causation dan responsibility.

Dalam linguistik antropologi, pemerolehan bahasa menjadi hal yang dipentingkan. Kajian tentang pemerolehan bahasa merupakan kelanjutan dari perkembangan psikolinguistik pada era 1960 dan 1970-an yang diinspirasi oleh pendapat Chomsky tentang innateness dalam pemerolehan bahasa. Pemerolehan bahasa awalnya hanya difokuskan pada orang dewasa. Pemerolehan bahasa pada anak bari dikaji pada era tahun 1970-an. Lingusitik antropologi mengkaitkan antara proses pemerolehan bahasa dengan proses pemerolehan budaya. Seorang anak menjadi anggota masyarakat ketika ia memperoleh bahasa. Dalam proses pemerolehan bahasa, bahasa tidak hanya serta merta sebagai tujuan akhir interaksi verbal pada anak-anak, orang dewasa, yang lebih tua atau yang lebih muda, akan tetapi juga sebagai sebuah instrument penting dalam proses bersosialisasi. Jadi tidak dapat kita pisahkan antara bahasa dan sosial, dimana bahasa diperoleh melalui interaksi sosial dan interaksi sosial dilakukan melalui bahasa.

Selain berperan dalam proses interaksi sosial, ternyata bahasa juga berperan untuk menjelaskan bahasa itu sendiri. Fakta tersebut berkaitan dengan salah satu fungsi bahasa yang dikemukakan oleh Roman Jakobson, yakni fungsi metabahasa. Fungsi metabahasa berkaitan erat dengan kemampuan penutur yang digunakan untuk memisahkan bentuk-bentuk bahasa tertentu dan mengidentifikasi makna atau fungsinya dalam wacana. Silverstein (1981) mengemukakan bahwa kemampuan metabahasa penutur berbeda-beda bergantung pada jenis fenomena bahasa yang akan dideskripsikan. Penutur akan lebih mudah mendeskripsikan fenomena bahasa yang bersifat nyata dibandingkan dengan yang bersifat abstrak. Untuk memperluas fungsi metabahasa yang diperkenalkan oleh Jakobson, Silverstein memperkenalkan fungsi metapragmatik yang berkaitan dengan penggunaan bahasa untuk mendeskripsikan aspek-aspek konstekstual dari tindak tutur. Pendeskripsian secara kontekstual melibatkan unsur-unsur di luar bahasa. Pengetahuan metapragmatik yang dimaksudkan yakni kemampuan penutur untuk menjelaskan konteks yang ada pada ekspresi-ekspresi bahasa dikaitkan dengan sifat-sifat tanda bahasa dalam pernyataan.

Berbicara tentang tanda bahasa tentu tidak bisa dilepaskan dari 2 tokoh bahasa yang mencetuskan konsep tanda, yakni Ferdinand de Saussure dan Charles Sanders Peirce. Saussure yang merupakan seorang strukturalis yang bersifat dikotomi menjabarkan tanda menjadi penanda dan petanda. Peirce mengklasifikasikan tanda secara trikotomi yakni :
1)simbol
2)ikon
3)indeks.
Duranti hanya membahas secara terperinci mengenai ikon dan indeks berkaitan dengan pemaknaan tanda bahasa. Ikon adalah tanda yang menunjukkan objek atau referennya- sebuah ikon menyerupai referennya pada aspek-aspek tertentu. Sebagai contoh, Duranti menyebutkan onomatope. Onomatope merupakan bentuk bunyi yang memiliki ikon. Bentuk seperti ini disebut phonosymbolism. Terdapat beberapa bahasa di dunia yang kaya akan ikon yang berbentuk bunyi, antara lain Bahasa Korea, Jepang, Gbeya, Quechua. Dari perspektif antropologi sangatlah penting untuk menanyakan apakah keberlimpahan ikonisitas dlama beberapa bahasa berhubungan dengan ciri-ciri kebudayaan yang dimiliki. Tanda yang kedua yaitu indeks yang berarti tanda yang mengidentifikasi sebuah objek bukan karena kesamaan analogi yang ada tapi juga karena hubungan yang ada antara tanda dan objek yang diacu.

Semakin kita mempelajari tentang indeksikalitas, semakin kita akan menyadari bahwa berbahasa merupakan proses kontekstualisasi yang berkelanjutan. Indeks merupakan dasar yang membantu partisipan dalam berbahasa untuk menegoisasi keadaan. Konsep kontekstualisasi diperkenalkan oleh John Gumperz. Konsep ini digunakan Gumperz untuk mengidentifikasi sekumpulan indeks yang muncul dalam situasi multikultural dimana orang-orang berasal dari latar belakang etnis yang berbeda. Kontekstualisasi bisa terjadi melalui sisi fonologi, morfologi, leksikon dan sintaksis.

Yang terakhir, Duranti (2007) membahas keterkaitan antara bahasa dan gender. Bahasa yang digunakan mencerminkan latar belakang riwayat sosial penuturnya. Kajian tentang bahasa dan gender berkaitan dengan makna indeksikal dalam bahasa. Makna indeksikal pertama kali diperkenalkan dalam kajian bahasa berdasarkan gender melalui gender deixis yang dimaksudkan untuk melihat bentuk bahasa tertentu mengekspresikan tentang gender penutur, sudut pandang gender oleh siapa bahasa digunakan. Lebih lanjut lagi, McConell-Ginet (1988) tentang kajian antara bahasa dan gender menunjukkan bahwa kita tidak bisa mengatakan bahwa fitur-fitur tertentu yang terdapat di dalam sebuah tindak tutur, bentuk leksikal, pemarka morfologis, bentuk intonasi selalu mempraanggapkan tentang identitas jenis kelamin. Lebih lanjut lagi, Ochs(1992) menyatakan bahwa tidak ada ekspresi non exclusive antara bahasa dan gender. Ketika menghubungkan antara bahasa dan gender (menentukan bahasa seperti apa yang digunakan oleh laki-laki atau perempuan), kita juga harus menghubungkannya dengan faktor-faktor sosial yang lain, seperti posisi dan hubungan sosial penutur dan mitra tutur. Contohnya pada beberapa dialek Bahasa Inggris, bentuk question tag seperti “I go straight, don’t i?” lebih sering digunakan oleh perempuan dibandingkan dengna laki-laki. Akan tetapi kita tidak bisa serta merta hanya menghubungkannya dengan gender pemakai bahasa karena ternyata juga ada faktor lain yang mempengaruhi penggunaan tersebut, yakni keraguan yang dirasakan penutur. Pemilihan bentuk bahasa yang digunakan oleh laki-laki atau perempuan selalu terkait dengan konteks sosial yang melingkupi mereka.

INI ADALAH INTISARI YANG SAYA PEROLEH PASCA MEMBACA BUKU KARYA ALLESANDRO DURANTI YANG BERJUDUL LINGUISTIC ANTHROPOLOGY. BAGI YANG MEMERLUKAN BUKU INI DAPAT MENGHUBUNGI SAYA VIA EMAIL ajengpanda@gmail.com.

SEKILAS TENTANG KAJIAN WACANA KRITIS

Saat ini kata wacana digunakan masyarakat pada bergabagai ranah ilmu sosial. Pada kesempatan kali ini saya akan mengulas tentang wacana pada ranah ilmu linguistik. Kata wacana didefinisikan secara beragam oleh para linguis. Johnstone (2002) dalam bukunya yang berjudul Discourse Analysis menungkapkan bahwa wacana adalah komunikasi secara nyata dengan bahasa sebagai medianya. Mendukung pernyataan tersebut, Clark (1994) dalam artikelnya Discourse in Production yang dimuat dalam Handbook of Psycholinguistics menjelaskan wacana sebagai penggunaan bahasa secara menyeluruh melebihi tataran bunyi, kata dan kalimat. Pendapat tersebut senada dengan yang diungkapkan oleh Kridalaksana (2008) berkaitan dengan wacana sebagai satuan bahasa terlengkap yang di dalam hirarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Satuan bahasa terlengkap yang dimaksudkan dalam suatu wacana dapat berupa rentetan kalimat yang saling berkaitan dan mampu menghubungkan proposisi-proposisi yang ada menjadi kesatuan yang utuh (Moeliono, 1988). Definisi-definisi tersebut merupakan definisi wacana secara konvensional yang menempatkan wacana sebagai konstruksi yang netral dan bebas nilai. Sedikit berbeda dengan ketiga pendapat tersebut, Fowler et al (1979), Fairclough (2001), van Dijk (1988), van Leeuweun (2008) dan Wodak (2001) mendefinisikan wacana secara kritis dengan menempatan wacana sebagai konstruksi yang tidak bebas nilai dan tidak netral. Wacana merupakan wujud dari tindakan sosial yang diproduksi dengan tujuan yang ingin dicapai oleh pihak yang memproduksinya. Sesuai dengan masalah yang akan dikaji, maka penelitian ini berpedoman pada definisi wacana yang tidak bebas nilai dan tidak netral.

Analisis terhadap wacana pada mulanya dipelopori oleh Zellig Harris pada tahun 1952 dengan menuliskan sebuah artikel yang berjudul Discourse Analysis yang dimuat pada jurnal Language. Para linguist pada era tersebut disibukkan dengan analisis kebahasaan pada tataran morfologi dan sintaksis saja yang hanya mengkaji bahasa sampai pada tataran kalimat. Harris dalam artikelnya menuliskan tentang perlu dilakukannya analisis yang lebih komperehensif terhadap bahasa yang tidak berhenti pada tataran internal kebahasaan saja (kalimat), akan tetapi mengkaji lebih lanjut tataran eksternal yang menyelimuti tataran internal tersebut, yakni keterkaitan antara teks dengan kontesksnya. Analisis wacana baru mulai banyak dilakukan oleh para ahli pada tahun 1960-an. Renkema (2004:1) mendefinisikan analisis wacana sebagai disiplin ilmu yang mengkaji hubungan antara bentuk dan fungsi dalam komunikasi verbal. Brown dan Yule (1983:1) dalam bukunya yang berjudul Discourse Analysis menjelaskan bahwa analisis wacana berarti melakukan analisis terhadap bahasa yang digunakan. Begitu pula dengan van Dijk (1988:24) dalam karyanya News as Discourse yang menjelaskan bahwa analisis wacana merupakan proses analisis terhadap bahasa dan penggunaan bahasa dengan tujuan memperoleh deskripsi yang lebik eksplisit dan sistematis mengenai apa yang disampaikan. Cook (1992:1) menambahkan bahwa dalam analisis wacana tidak cukup hanya menganalisis unsur kebahasaan saja, akan tetapi juga memperhitungkan konteks yang membangun wacana tersebut.

Kehadiran konteks yang dihubungkan dengan faktor kebahasaan ternyata tidak cukup memuaskan bagi proses analisis wacana. Pengaruh paradigma kritis mengahadirkan terobosan yang disebut analisis wacana kritis[1]. Para ahli wacana kritis mendefiniskan wacana dengan terma yang lebih luas lagi. Sekelompok pengajar dari Universitas East Anglia, yakni Fowler, Hodge, Kress dan Trew (1979) melalui bukunya yang berjudul Langauge and Control dengan pendekatan linguistik kritis yang mereka gagas semakin memantapkan pengkajian wacana secara kritis. Mereka memaknai wacana sebagai praktik sosial yang bertujuan. Wacana tidak serta merta hadir begitu saja, melainkan hadir dengan tujuan tertentu yang ingin disampaikan pada khalayak penikmatnya (Fairclough dan Wodak, 1997). Teks tidak pernah dipandang sebagai sesuatu yang netral yang bebas nilai. Analisis wacana kritis melihat bahasa sebagai suatu tindakan. Wacana bertindak dalam menentukan ke arah mana khalayak akan dibawa. Tugas utama analisis wacana kritis adalah menguraikan relasi kuasa, dominasi dan ketimpangan yang diproduksi dalam wacana (van Dijk, dalam Tannen dkk, 2001). Sependapat dengan van Dijk, Renkema (2004:282) dalam bukunya yang berjudul Introduction to Discourse Studies menambahkan bahwa wacana merupakan refleksi relasi kuasa yang terdapat dalam masyarakat. Menurutnya analisis wacana kritis dilakukan dengan tujuan untuk mendeteksi masalah-masalah sosial, terutama masalah diskriminasi. Analisis wacana kritis melihat bahasa sebagai faktor penting sebagai perwujudan kuasa pihak tertentu. Suatu teks diproduksi dengan ideologi[2] tertentu yang ingin disampaikan kepada khalayak pembacanya.

Perkembangan analisis wacana kritis oleh para ahli telah melahirkan beragam teori dengan pendekatan yang juga beragam yang digunakan dalam penelitian. Fowler, Hodge, Kress dan Trew (1979) mengaplikasikan teori fungsional gramar Halliday untuk melakukan analisis wacana kritis. Halliday melalui teori tersebut menyatakan bahwa bahasa memiliki 3 fungsi utama, yakni mengkomunikasikan proses terjadi`nya peristiwa di dunia dan semua yang terlibat di dalamnya (fungsi ideasional), mengekspresikan sikap penutur terhadap proposisi yang sudah disusun dan mengekspresikan relasi antara penutur dan mitra tutur (fungsi interpersonal) dan menyajikan ekspresi tersebut secara koherensif dan memadai melalui teks (fungsi tekstual) (1979:188). Fowler, Hodge, Kress dan Trew menerapkan analisis terhadap 3 fungsi bahasa tersebut untuk membedah ideologi yang ada pada wacana. Analisis yang dilakukan hanya pada tataran teks saja, yakni menganalisis elemen pilihan kosakata yang digunakan pada teks, nominalisasi dan pilihan kalimat yang digunakan.

Van Leeuwen (2008) dalam bukunya yang berjudul Discourse and Practice menggunakan pendekatan eksklusi dan inklusi untuk menganalisis bagaimana aktor-aktor dalam wacana ditampilkan, apakah aktor tersebut ditampilkan secara utuh, hanya sebagian atau bahkan dihilangkan. Eksklusi merupakan pengeluaran atau penghilangan aktor dari suatu wacana (van Leeuwen, 2008: 28-29). Proses eksklusi direalisasikan melalui 3 strategi, yakni pasivasi (penghilangan aktor dalam wacana yang paling umum dilakukan dengan menggunakan kalimat pasif untuk menjabarkan suatu peristiwa), nominalisasi (proses mengubah verba menjadi nomina) dan penggantian anak kalimat. Berlawanan dengan eksklusi, inklusi berkaitan dengan bagaimana aktor dimasukkan atau dihadirkan dalam wacana. Proses inklusi direalisasikan melalui 6 strategi, yakni diferensiasi- indiferensiasi (menghadirkan aktor atau peristiwa lain sebagai pembanding), objektivasi- abstraksi, nominasi- kategorisasi, nominasi- identifikasi, determinasi- indeterminasi dan asimilasi- individualisasi. Jenis pendekatan ini memungkinkan untuk meninjau lebih dalam dan terperinci tentang posisi aktor dalam wacana. Namun untuk melihat bagaimana terbentuknya wacana secara utuh masih belum bisa dikatakan terperinci mengingat van Leeuwen hanya melakukan analisis pada tataran teks saja.

Sejalan dengan van Leeuweun, bisa dilihat pada karya Mills (1997) yang berjudul Discourse, analisis wacana kritis dilakukannya dengan memfokuskan pada bagaimana aktor-aktor ditampilkan pada wacana. Yang membedakan keduanya adalah fokus kajian yang meraka lakukan, yakni Mills yang lebih terkenal dengan kajian wacana feminismenya. Ia ingin mengkaji bagaimana bias media dalam menampilkan wanita sehingga terjadi pemarjinalan di dalamnya. Model analisis wacana kritis Mills berusaha menghubungkan posisi aktor sosial dan posisis suatu peristiwa untuk mengungkan adanya pemarjinalan. Posisi subjek dan objek dalam suatu peristiwa dikaji secara mendalam olehnya untuk melihat aktor mana yang memiliki posisi yang lebih tinggi dan memiliki kuasa untuk menentukan wacana yang akan dilemparkan pada publik. Aktor yang berperan sebagai subjek diasumsikan sebagai aktor yang memiliki kesempatan untuk mendefinisikan dan melakukan pencitraan terhadap dirinya. Di sisi lain, aktor yang menjadi objek adalah pihak yang didefinisikan dan digambarkan kehadirannya oleh orang lain. Analisis terhadap posisi subjek- objek diyakini Mills mengandung muatan ideologi tertentu. Kelebihan pendekatan wacana kritis yang dilakukannya adalah memperhitungkan posisi pembaca dalam teks. Berita bukanlah semata sebagai hasil produksi dari pewarta berita dan pembaca tidak serta merta ditempatkan sebagai sasaran. Mills menganggap berita sebagai hasil negoisasi antara pewarta berita dan pembacanya.

Berbeda dengan van Leeuwen dan Mills, pendekatan analisis wacana kritis van Dijk (1988), yang dikenal dengan pendekatan kognisi sosial, menyertakan analisis terhadap kognisi pembuat wacana dalam proses pembentukan wacana dan juga melibatkan analisis kebahasaan secara lebih mendalam untuk membongkar relasi kuasa dan dominasi yang diproduksi pada wacana. Van Dijk mengklasifikasikan elemen wacana menjadi 3, yakni teks, kognisi sosial dan konteks sosial. Tataran teks dibagi menjadi 3, yakni struktur makro, superstruktur dan struktur mikro. Struktur makro adalah strukur luar pembentuk wacana. Superstruktur berkaitan dengan skematik wacana. Struktur mikro mencakup elemen-elemen kebahasaan yang digunakan dalam wacana. Van Dijk menetapkan 4 elemen kebahasaan yang dikaji pada tataran struktur mikro, yakni elemen sintaksis, semantis, stilistik dan retoris. Kognisi sosial hadir untuk menjembatani antara teks dan konteks. Kognisi sosial berkaitan dengan proses mental dan kognisi pembuat wacana dalam proses produksi wacana. Adanya analisis terhadap kognisi sosial melalui daftar pernyaaan yang diajukan kepada pembuat wacana akan lebih memperjelas bagaimana wacana diproduksi dan konteks seperti apa yang mempengaruhinya. Untuk analisis konteks sosial dilakukan melalui studi intertekstualitas, yakni mengkaitkan suatu wacana dengan wacana terkait yng ada sebelum dan sesudahnya. Keterkaitan antara teks, kognisi sosial dan konteks sosial mencerminkan kecenderungan suatu wacana. Kelebihan proses analisis wacana yang dilakukan oleh van Dijk adalah bagaimana ia menghubungkan antara teks dan konteks melalui kognisi sosial pembuat wacana.

Senada dengan van Dijk, analisis wacana kritis Fairclough (1995) dalam bukunya Critical Discourse Analysis menggunakan perantara dalam menghubungkan antara teks dan konteks, yakni melalui praktik wacana. Pendekatan analisis wacana kritis model Fairclough mengklasifikasikan tiga dimensi wacana yang terdiri atas teks, praktik wacana dan praktik sosiokultural. Dimensi teks secara bersamaan memiliki tiga fungsi, yakni representasi, relasi, dan identitas. Fungsi representasi berkaitan erat dengan bagaimana realitas sosial ditampilkan dalam bentuk teks. Praktik wacana menurut Fairclough merupakan tahapan yang berkaitan dengan bagaimana cara pemroduksi wacana membentuk sebuah wacana, dalam media massa hal ini berkaitan dengan bagaimana para pekerja media (penulis berita) memproduksi teks. Hal ini berkaitan dengan penulis berita itu sendiri selaku pribadi, hubungan kerja penulis berita dengan sesama pekerja media lainnya, institusi media tempat penulis berita bernaung, cara meliput berita, menulis berita, sampai menjadi berita di dalam media. Praktik sosiokultural dibagi menjadi 3 level, yakni level situasional (situasi pembangun wacana), institusional (pengaruh institusi) dan sosial (pengaruh sosial masyarakat). Perbedaan antara van Dijk dan Fairclough terletak pada tata cara analisis pada tataran teks. Meskipun Fairclough sudah melakukan analisis unsur-unsur kebahasaan yang lebih komperehensif, akan tetapi pengklasifikasian unsur-unsur kebahasaan tersebut masih belum mendetail dalam artian tidak diklasifikasikan secara gamblang unsur kebahasaan yang dikaji seperti pada analisis yang dilakukan oleh van Dijk (1988).

[1] Paradigma kritis menggambarkan dunia sebagai suatu sistem yang tidak seimbang melainkan sebagai suatu sistem yang mengandung dominasi, eksploitasi, pengorbanan, penindasan dan kekuasaan. Kaum kritis berusaha untuk memperlihatkan kesalahan yang muncul pada keadaan masyarakat. Mereka cenderung tertarik dengan kelompok yang didominasi dibandingkan dengan siapa yang melakukan dominasi tersebut. (Johnstone, 2002:26)

[2] Ideologi adalah keyakinan dasar yang dimiliki oleh sebuah kelompok dan dihayati bersama oleh seluruh anggota kelompok (van Dijk, 2000). Max, dalam van Dijk (2000) mendefinisikan ideologi sebagai pandangan hidup yang dikembangkan berdasarkan kepenti-ngan golongan atau kelas sosial tertentu dalam bidang politik, sosial dan ekonomi. Hodge dan Kress (1979:6) mengungkapkan bahwa ideologi adalah bentuk ide sistematis yang dibentuk melalui pandangan tertentu.

Referensi :
Clark, Herbert. 1994. Discourse in Production. dalam Hanbook of Psycholinguistics. Academic Press Inc.
Cook, Guy. 1992. The Discourse of Advertising. London: Routledge.
Fairclough, Norman. 2001. Language and Power, Second Edition. England: Longman.
Fowler, Roger et al. 1979. Language and Control. London: Routledge.
Johnstone, Barbara. 2002. Discourse Analysis. UK: Blackwell Publishers Ltd.
Mills, Sara. 1997. Discourse. London: Routledge
Renkema, Jan. 2004. Introduction to Discourse Studies. Amsterdam: John Benjamins Publishing Company.
Van Dijk, Teun A. Critical Discourse Analysis. Dalam D. Tannen, D. Schiffrin & H. Hamilton (Eds.). 2001. Handbook of Discourse Analysis. (hal.352-371). Oxford: Blackwell.
Van Dijk, Teun A. 1988. News as Discourse. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates Publisher.
Van Dijk. 2000. Ideology and Discourse; A Multidisciplinary Introduction. Barelona: Pompen Praba
Van Leeuwen, Theo. 2008. Discourse and Practice, New Tools for Critical Discourse Analysis. New

BAGI YANG MEMBUTUHKAN BUKU REFERENSI TENTANG KAJIAN WACANA KRITIS, DENGAN SENANG HATI SAYA AKAN MEMBANTU MEMINJAMKAN ATAU MENGIRIMKAN E-BOOK VIA EMAIL. SILAHKAN MENGIRIMKAN EMAIL KE ajengpanda@gmail.com

SOSIOLINGUISTIK - Sekilas Tentang Poliglosia dan Diglosia

Diglosia ala Ferguson

Fenomena diglosia pada umumnya hanya bisa ditemukan dalam komunitas masyarakat bahasa yang bilingual[1] dan multilingual[2]. Dalam masyarakat bahasa tersebut kadangkala terdapat ragam bahasa yang ditinggikan ‘ragam H’(High Variation) dan ragam lain yang dianggap lebih rendah (Low Variation) ‘ragam L’. Fenomena inilah yang disebut dengan diglosia. Istilah diglosia diperkenalkan pertama kalinya oleh Ferguson (1959) dalam karyanya yang berjudul “Diglossia”. Istilah diglosia untuk kali pertama digunakan Ferguson untuk melukiskan situasi kebahasaan yang terdapat di Yunani, negara-negara Arab, Swiss, dan Haiti[3]. Fitur-fitur yang menandai fenomena diglosia antara lain (Holmes, 2001 : 27)

Dua ragam yang berbeda dari bahasa yang sama digunakan dalam komunitas, dimana salah satu dianggap sebagai ragam yang lebih tinggi dan yang lainnya dianggap sebagai ragam yang lebih rendah.
Masing-masing ragam digunakan untuk keperluan yang berbeda ; ragam H dan ragam L saling melengkapi satu sama lain.
Tidak ada seorangpun yang menggunakan ragam H dalam komunikasi sehari-harinya.
Menurut Ferguson, diglosia mempunyai ciri-ciri menonjol yang dapat ditunjukkan melalui sembilan sudut pandang, yaitu :

1. Fungsi
Fungsi adalah kriteria yang penting bagi situasi digloasia. Pada kebanyakan situasi diglosia bentuk ragam H lebih difungsikan dalam situasi formal. Ragam ini akan terasa janggal apabila digunakan dalam komunikasi sehari-hari. Begitupun sebaliknya dengan ragam L akan terasa tidak pas dan aneh apabila digunakan dalam bentuk tulisan.

2. Prestise
Para penutur bahasa pada umumnya mengagumi ragam H, meskipun mereka kadang tidak sepenuhnya mampu memahaminya. Ragam tersebut disikapai dengan penuh penghargaan sebagai ragam bahasa yang elit yang mencerminkan status yang tinggi akan penuturnya. Sementara ragam L dianggap lebih inferior.

3. Tradisi sastra
Ragam H digunakan pada karya sastra masa lalu. banyaknya kepustakaan yang ditulis dalam H dan dikagumi oleh masyarakat bahasa tersebut. Kebiasaan tulis-menulis masa kini dianggap merupakan kelanjutan dari tradisi besar masa lalu.

4. Pemerolehan bahasa
Sumarsono (2007: 192) menegaskan bahwa aspek penting yang terlihat dalam fenomena diglosia adalah perbedaan proses pemerolehan ragam H dan L oleh penutur. Ragam L adalah ragam yang lebih dulu diperoleh dan dikuasai oleh penutur, sedangkan ragam H mereka peroleh melalui pendidikan formal. Ragam L dipelajari secara unconsious oleh penutur dalam artian dipelajari secara normal tanpa kaidah yang mengikat.

5. Standarisasi
Ragam H mengalami proses pembakuan dan harus dipelajari di sekolah, sedangkan tidak setiap orang mempunyai kesempatan untuk mempelajarinya. Sebaliknya, ragam L yang dipakai di dalam situasi tidak resmi adalah ragam bahasa yang dipakai sehari-hari di rumah. Ragam ini tidak mengenal ragam tulis dan tidak menjadi sasaran pembakuan bahasa.

6. Stabilitas
Diglosia dilihat sebagai situasi yang bersifat stabil. Kestabilan tersebut terjadi karena pada umumnya situasi diglosia muncul karena dikehendaki oleh penuturnya. Adanya ragam H dan L dalam masyarakat bahasa komunitas diglosia dipertahankan[4].

7. Tata bahasa
Sebenarnya ragam H dan ragam L dalam fenomena diglosia merupakan bentuk-bentuk dari bahasa yang sama, namun dalam hal tata bahasa ternyata terdapat perbedaan. Ditinjau dari tata bahasanya, ragam H cenderung memiliki kaidah tata bahasa yang lebih kompleks dibandingkan ragam L.

8. Leksikon
Kosakata pada ragam H sebagian besar sama dengan kosakata yang ada pada ragam L. Namun ada kosakata dalam raham H yang tidak terdapat padanannya pada ragam L begitupun juga sebaliknya terdapat kosakata pada raga L yang tidak terdapat padanannya pada ragam H. Pada fenomena diglosia pada umumnya terdapat dua padanan kosakata yang terdapat pada ragam H dan L, misalnya pada Bahasa Jawa untuk verba ‘makan’ ragam H adalah dhahar sedangkan ragam L adalah mangan.

9. Fonologi
Struktur fonologi antara ragam H dan L adalah berbeda. Fonologi ragam H mrupakan sistem dasar sedangkan fonologi raham L merupakan subsistem yang memiliki keberagaman. Fonologi ragam H merupakan bentuk umum yang ada dalam suatu bahasa. Di sisi lain fonologi ragam L bukan bentuk dasar dan cenderung memiliki variasi yang beragam.

Di Indonesia, situasi diglosia dijumpai dalam beberapa bahasa daerah di Indonesia, seperti bahasa Jawa, Sunda, Bali, Madura, yang masing-masing mempunyai ragam H dan L pada bahasanya. Dalam masyarakat Sunda dikenal undak usuk basa, di dalamnya terdapat aturan tata bahasa yang mengatur tingkatan ragam bahasa rendah dan ragam bahasa tinggi seperti basa cohag (ragam kasar), basa loma (ragam untuk sesama), basa sedeng (ragam sedang atau tengah), basa lemes (ragam halus). Di Jawa terdapat bahasa ngoko (tingkat paling rendah), krama (tengah), krama inggil (tingkat tinggi)[5].


Diglosia ala Fasold dan Fishman

Konsep diglosia kemudian dikembangkan oleh Fishman (1972:92) dan Fasold (1984) dengan terminologi baru broad diglosia (diglosia luas). Menurut Fishman diglosia tidak hanya berlaku pada adanya pembedaan ragam T dan R pada bahasa yang sama, melainkan juga berlaku pada bahasa yang sama sekali tidak serumpun, atau pada dua bahasa yang berlainan. Fishman menekankan pada adanya pembedaan fungsi kedua bahasa atau variasi bahasa yang bersangkutan.

Fasold (1984) mengembangkan konsep diglosia ini menjadi apa yang disebutkan broad diglosia (diglosia luas). Dalam konsep broad diglosia perbedaan itu tidak hanya antara dua bahasa atau dua ragam atau dua dialek secara biner, melainkan bisa lebih dari dua bahasa atau dua dialek itu. Dengan demikian termasuk juga keadaan masyarakat yang di dalamnya ada diperbedakan tingkatan fungsi kebahasaan, sehingga munculah apa yang disebut Fasold diglosia ganda dalam bentuk yang disebut double overlapping diglosia, double-nested diglosia, dan linear polyglosia.

Double overlapping diglosia adalah adanya situasi pembedaan derajat dan fungsi bahasa secara berganda. Contoh keadaan semacam ini bisa kita temukan di negara Tanzania, dimana di negara tersebut digunakan Bahasa Inggris, Swahili dan beberapa bahasa daerah. Pada satu saat tertentu Bahasa Swahili merupakan ragam H dimana ragam Lnya adalah bahasa-bahasa daerah. Di situasi yang berbeda, Bahasa swahili menjadi ragam L dan Bahasa Inggris berperan sebagai ragam H. Double-nested diglosia adalah keadaan dalam masyarakat multilingual, terdapat dua bahasa yang diperbedakan satu sebagai ragam H, dan yang lain sebagai ragam L. Fenomena semacam ini ditemukan di desa Khalapur, salah satu desa di India. Di desa tersebut terdapat dua macam bahasa yang digunakan, yakni Bahasa Khalapur dan Bahasa Hindi. Bahasa Khalapur sebagai bahasa daerah memiliki ragam H dan L. Begitu pula dengan Bahasa Hindi yang digunakan juga memiliki ragam H dan L.

Linear polyglosia bisa tergambarkan dengan jelas pada masyarakat Cina Malaysia. Pada masyarakat Cina Malaysia yang terpelajar dan mampu berbahasa Inggris, Bahasa Melayu ragam H, yaitu bahasa Malaysia merupakan variasi linguistik tertinggi kedua yang digunakan dalam masyarakat itu. Bahasa Melayu informal yang disebut bahasa Melayu Bazar mempunyai kedudukan yang sangat rendah, berada di bawah bahasa manapun. Bahasa Inggris dan variasi bahasa Cina kedudukannya lebih tinggi dari bahasa Melayu Bazar ini. Di samping itu terdapat bahasa Cina Mandarin yang mempunyai kedudukan khusus, dan harus dimasukkan dalam deretan khasanah bahasa tersebut.

Hubungan antara Bilingualisme dan Diglosia

Pada masyarakat bahasa di dunia terdapat 4 macam pola hubungan antara bilingualisme dan diglosia. Chaer (2004) menjabarkan pola tersebut sebagai berikut :

1. Masyarakat bilingual sekaligus diglosis
Karakter masyarakat yang seperti ini banya sekali ditemukan di beberapa negara di dunia, misalnya di Paraguay yang menggunakan dua bahasa, yakni Bahasa Guarani sebagai ragam L dan Bahasa Spanyol sebagai ragam H.

2. Masyarakat bilingual yang tidak diglosis
Tidak ada pembeda ragam bahasa dalam masyarakat bahasa seperti ini. Bahasa yang digunakan bisa dipergunakan dalam fungsi apapun tanpa ada pengklasifikasian. Situasi semacam ini ditemukan di Montreal, Kanada.

3. Masyarakat diglosis yang tidak bilingual
Situasi kebahasaan seperti ini menempatkan 2 kelompok penutur yang berbeda dalam masyarakat. Kelompok pertama jumlahnya lebih kecil dan hanya mengguanakan ragam H dalam berkomunikasi. Di sisi lain kelompok kedua yang jumlahnya lebih besar, tidak mempunyai kekuasaan dalam masyarakat dan hanya menggunakan ragam L dalam berkomunikasi. Menurut Ferguson masyarakat dengan karakter seperti ini belum bisa dikatakan sebagai masyarakat tutur karena kedua kelompok tersebut hanya berinteraksi secara minim atau bahkan nyaris tidak berinteraksi satu sama lain. Keadaan diglosik tanpa bilingual banyak terjadi pada era sebelum Perang Dunia I.

4. Masyarakat yang tidak diglosis dan juga tidak bilingual
Pada keadaan seperti ini hanya terdapat satu bahasa tanpa adanya variasi H dan L. Bahasa tersebut dapat digunakan dengan tujuan apapun. Keadaan seperti ini hanya mungkin terjadi pada daerah terpencil atau primitif. Lambat laun komunitas masyarakat yang tidak diglosik dan tidak bilingual semacam ini akan mengalami pencairan apabila mereka bersentuhan dengan masyarakat lain dalam artian melakukan komunikasi dengan komunitas masyarakat yang berbeda (Fishman, 1972: 106).

[1] Bilingual adalah kemampuan seseorang untuk menggunakan 2 bahasa dalam berkomunikasi

[2] Multilingual adalah kemampuan seseorang untuk menggunakan lebih dari 2 bahasa dalam berkomunikasi

[3] Pada negara-negara tersebut terdapat dua ragam bahasa yang berbeda, yakni Katharevusa dan Dhimtiki di Yunani, al fusha dan ammiyah di negara-negara Arab, Schriftsprache dan Schweizerdeutsch di Swis, serta francais dan creole di Haiti.

[4] Antara ragam H dan L dipertahankan dengan cara meredam ketegangan yang acap kali muncul pada kedua ragam tersebut. Ketegangan diredam melaui adanya ragam campuran dimana di dalamnya mengandung unsur H dan l sekaligus.

[5] Keduanya mempunyai ukuran baku masing-masing, diakui oleh masyarakat pemakainya dan bersifat stabil.


Referensi
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta
Fasold, Ralph. 1984. The Sociolinguistics of Society. Oxford: Basil Blackwell.
Fishman, Joshua A. 1972. Sociolinguistics, A Brief introduction. New York: Newbury House
Holmes, Janet. 2001. An Introduction to Sociolinguistics. London: Longman.
Meyerhoff, Miriam. 2006. Introducing Sosiolinguistics. New York: Routledge
Sumarsono. 2006. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

seteguk rindu dalam secangkir kopi

pada secangkir kopi kutitipkan rindu ini
pada setiap teguknya yang dulu pernah kunikmati bersamamu
pada hembusan aroma khasnya yang pernah menemani tawa kita
pda hangatntya yang dulu selalu berhasil mencairkan ego kita

kini aku tak lagi minum kopi
sengaja kutinggalkan secangkir ini untukmu
agar dapat kau rasakan rinduku pada teguk pertamamu
sesalku pada teguk keduamu
dan teguk selanjutnya
kau akan merasakan aku
yang berjiba dalam raguku
terperangkap dalam masa yang masih ada kamu di dalamnya

terhanyut

hanyut..ah hanyut sudah
saat harap bergelayut
saat rindu tak jua menyusut
aku hanyut, sayang
diantara 2 pilihan yang membuatku takut
diantara asa yang tengah kita rajut
dan dekapan hangat daro orang yang tak ingin kusebut

sajak agak tabu

pada tiap mili bibirmu
aku menitipkan ribuan senti rinduku
di tiap inci tubuhmu
akan kutunjukkan bagaimana caranya meramu rindu

PERGILAH

*pergilah
kaki ini lelah mengikuti langkah yang berbeda arah
aku hanya punya dua kaki yang tak mungkin terpisah dan hanya bisa melangkah pada satu arah

*kembalilah
aku sudah berputar
merapal jejakmu dengan gemetar
melangkah maju tapi rasanya gentar
hatiku seketika berdebar
semakin lama, jejakmu makin memudar

Rabu, 09 April 2014

untukmu...

rasa ini terlambat, tapi sudah tertambat.
mungkin di alam bawah sadarku,
di persimpangan antara asa dan nyata,
ternyata hatiku sudah lama di sana,
menjaga utuhnya rindu.
mungkin seperti itu.
sampai tiba pada saat dimana buncah rinduku tak dapat lagi kujaga,
dan menghinggapkanku di pelukanmu begitu saja :)

untukmu...

memelukmu sungguh menjadi candu,
yang tak memabukkan, tapi justru menyadarkan,
yang tak melenakan, tapi malah melegakan,
aku ingin memelukmu sampai habis tak bersisa semua rindu :)

untukmu...

dia teman yang selalu dekat,
dia sahabat yang kupeluk erat,
dialah cinta yang kusimpan rapat, dalam tiap gurat senyuman pertemuan singkat :)

untukmu..


tanpa kusadari ternyata hati ini tertinggal pada tiap tawa bahagia jumpa kita.
tanpa kusadari aku menggantungkan harap yang tinggi akan kebersamaan kita.
dan kini,
semuanya baru berani kusadari, saat kau dan aku sama-sama sendiri :)